Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam serangkaian tindakan pelanggaran HAM dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Polisi, Satpol PP dan Wali kota Banda Aceh beserta wakilnya, terhadap Komunitas anak Punk pada 10 Desember 2011 lalu.
“Terakhir kami menyayangkan dukungan Gubernur Aceh yang mendukung tindakan kekerasan di atas terhadap anak-anak Punk di Banda Aceh,” kecam Koordinator KontraS Haris Azhar dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu (22/12/2011).
Tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi adalah; Pembubaran acara Musik Amal untuk Anak-anak Yatim “PUNK FOR ACEH” yang dilakukan oleh komunitas Punk Banda Aceh dan dihadiri oleh anak-anak punk dari luar Aceh seperti, Bali, Bandung, dan juga Medan Sumatra Utara.
“Kami mencatat bahwa pada saat pembubaran (10 Desember 2011) kegiatan tersebut (pada malam hari) anak-anak Punk tersebut sempat dipukuli dan dipaksa naik ke Rio Polisi. Beberapa dari mereka yang sempat melarikan diri, kemudian ditangkap hingga hari Minggu dan dibawa ke Polres Banda Aceh,” terang Haris.
Tercatat 65 anak Punk ditangkap secara sewenang-wenang. Enam di antaranya adalah perempuan dan dua di antaranya masuk kategori anak-anak. Penangkapan tidak disertai dengan surat resmi penangkapan oleh kepolisian. Padahal anak-anak Punk yang malam itu berkumpul di tengah kota tidak didapati satu pun melakukan tindakan pelanggaran hukum yang perlu dicegah atau ditangkap. “Penangkapan dan pembubaran tersebut juga dihadiri oleh Wali Kota Banda Aceh dan Wakilnya,” ungkapnya.
Haris menambahkan, slasan penangkapan sebagaimana diutarakan adalah penyalahgunaan izin acara. Padahal penyalahgunaan izin masuk dalam kategori kesalahan admistratif yang tidak merugikan nyawa dan harta benda orang lain.
Pascapenangkapan, para anak muda tersebut tidak diperlakukan sebagai tahanan yang bisa mendapatkan hak-haknya sebagaimana yang dijamin dalam KUHAP. Seperti, bantuan hukum (pengacara) dan akses menghubungi keluarganya. “Melainkan anak-anak ini dibawa ke Sekolah Polisi Negara (SPN) Banda Aceh. Anak-anak tersebut (yang laki-laki) digunduli, dipaksa merendaman diri disungai dekat SPN dan menjalani pendidikan kedisiplinan selama 10 hari kerja sejak Sabtu 10 Desember 2011,” sesalnya.
Terhadap mereka, sambung Haris, juga tidak ada akses komunikasi. Diduga orangtua tidak tahu nasib mereka karena diisolir dari dunia luar. Ketiadaan standar pembinaan yang jelas di SPN terhadap anak-anak, kecuali baris-berbaris dari pagi hingga malam dikhawatirkan membuat tujuan pembinaan tak tercapai.
Pihak SPN sendiri juga menutup diri dari kehadiran advokat publik dan beberapa LSM HAM untuk menjumpai mereka sehingga ada indikasi kuat perlakuan pembinaan komunitas punk dilakukan oleh polisi dengan tindakan kekerasan. Yaitu kekerasan psikologis seperti direndam di kolam suci dan digunduli bagi laki-laki dan dipotong pendek bagi perempuan dengan maksud pembunuhan identitas Punk. “Kepada anak punk juga dialamatkan tuduhan sebagai ancaman terhadap budaya Aceh dan syariah Islam di Aceh,” bebernya.
Terakhir, kata Haris, Polisi dan Wali Kota Banda Aceh telah menyalah gunakan peruntukan Sekolah Polisi Negara (SPN) Banda Aceh. SPN adalah lembaga pendidikan ilmu kepolisian untuk polisi. SPN bukan lembaga pendidikan keagamaan, bukan lembaga pendidikan anak dan pemuda/i, bukan lembaga tahanan.
Karena itu KontraS menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh Satpol PP dan pihak kepolisian khususnya Polres Banda Aceh dan juga wakli kota banda Aceh adalah serangkaian tindakan melanggar UUD 1945 dan aturan hukum HAM termasuk aturan-aturan terkait dengan hak anak dan perempuan.
Pertama, pelanggaran atas kebebasan berkumpul dan berekspresi-dalam hal ini bermusik. Polisi Banda Aceh, Satpol PP dan Wali Kota Banda Aceh telah melanggar Pasal 23 dan 24 UU Nomor 39 tahun 19999 tentang Hak Asasi Manusia junto Pasal 19 ayat 2 Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang sudah dijadikan hukum nasional lewat UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi hak sipil dan politik junto Pasal 13 dan 15 Konvensi internasional tentang Hak Anak yang sudah diratifikasi menjadi hukum nasional Indonesia melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak junto Pasal 15 huruf d UU nomor 23 tahun 2002 tentang Pelindungan Anak.
Pembatasan hak berekspresi bisa dilakukan dalam batasan; menjaga kehormatan dan hak orang lain serta atas dasar keamanan nasional, ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum; pembatasan ini harus diatur dalam UU yang berlaku.
Sayangnya hingga saat ini tidak ada aturan setingkat UU yang berlaku yang bisa membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul dari anak-anak punk. Kalaupun ada pembatasan tersebut harus bisa dibuktikan terlebih dahulu lewat pengadilan artinya terbukti secara sah. Untuk kasus Aceh dan Punk, tidak bisa pembatasan anak-anak Punk didasari oleh aturan lokal atau atas dasar keresahan yang dikeluarkan secara lisan oleh wali kota Banda Aceh.
Khusus untuk anak-anak pembatasan hak berekspresi menurut Pasal 55 UU 39 hanya boleh dilakukan dibawah otoritas orang tuanya selama pembatasan tersebut tidak melanggar hak-hak yang lainnya dari anak tersebut. Pembatasan tidak dapat dilakukan oleh negara terlebih hanya oleh Wali Kota dan Polisi.
Kedua, ketiadaan akses komunikasi bagi keluarga paska penangkapan terhadap anak-anak Punk. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 9 Konvensi Internasional tentang hak sipil dan politik (UU Nomor 12 Tahun 2005) dimana terdapat kewajiban untuk memberitahukan adanya penangkapan kepada keluarga.
Ketiga, tindakan penyiksaan dan tindakan yang merendahkan martabat manusia berupa pemukulan saat penangkapan/pengamanan dan penggundulan anak-anak Punk serta meminta mereka untuk merendamkan diri di air sungai.
Hal ini, menurut Haris, merupakan pelanggaran terhadap Pasal 33 UU 39 Tahun 1999 tentang HAM junto 7 konvensi Internasional tentang hak sipil dan politik yang 16 Konvensi Internasional tentang Anti Penyiksaan, perlakuan yang menyakitkan dan tindakan yang tidak manusiawi, sebagaimana sudah dijadikan hukum nasional melalui UU Nomor 7 Tahun 1998.
Khusus terhadap anak-anak hal ini juga melanggar Pasal 37 huruf a dari konvensi internasional tentang hak anak. Hak untuk tidak disiksa merupakan hak yang tidak boleh dilanggar dalam keadaan apapun. Hak untuk tidak disiksa merupakan hak yang fundamental. Oleh karenanya pelanggaran terhadap hak ini merupakan pelanggaran HAM serius.
Keempat, adalah pelanggaran HAM berupa penangkapan secara sewenag-wenang dan penahanan yang tidak layak (dengan ditempatkan di SPN) merupakan pelanggaran pasal 34 UU 39 Tahun 1999 tentang HAM junto Pasal 9 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dimana setiap orang berhak atas perlindungan dan rasa aman dari penangkapan atas alasan-alasan yang tidak diatur oleh hukum yang berlaku serta dari penempatan dirumah tahanan yang tidak semestinya/tidak layak.
Kelima, pelarangan akses bantuan hukum terhadap kepada pengacara dari LBH Aceh, KontraS Aceh dan Koalisi NGO HAM Aceh. Hal ini menambah kategori pelanggaran HAM terhadap anak-anak punk untuk mendapatkan hak bantuan hukum. Hal ini merupakan pelanggaran Pasal 18 ayat 4 dari UU 39 Tahun 1999 tentang HAM junto khusus untuk hak anak jaminan bantuan hukum terdapat di Pasal 66 ayat 6 dari UU yang sama junto 37 huruf d konvensi internasional atas hak anak.
Terakhir, hak yang dilanggar adalah tindakan diskriminatif berupa tuduhan terhadap komunitas Punk dengan memposisikan bahwa anak Punk anti syariah dan anti budaya Aceh merupakan pelanggaran Pasal 2 huruf e dari Konvensi Internasional penghapusan segala bentuk Diskriminasi Rasial yang sudah disahkan menjadi hukum nasional melalui UU Nomor 29 tahun 1999 tentang Pengesahan konvensi tersebut junto Pasal 2 ayat 2 dari konvenan internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya.
Jika pun mereka terindikasi melakukan pelanggaran hukum dalam hal ketiadaan izin/penyalahgunaan izin diadakannya kegiatan musik amal ataupun kepemilikan senjata tajam dan obat terlarang lainnya, maka hal itu tetap dilakukan tanpa mengurangi penegakan atas nilai-nilai dan prinsip-prinsip HAM.
“Untuk itu kami mendesak Komnas HAM, Komnas Perlindungan Anak Indonesia, Komnas Perlindungan Perempuan dan Ombudsmen Indonesia harus segera melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran HAM yang berlapis-lapis sebagaimana digambarkan diatas terhadap komunitas anak Punk Banda Aceh. Lebih lanjut kami meminta agar dilakukan tindakan pemulihan terhadap anak-anak punk di Banda Aceh, yang juga menjadi kewajiban pemerintah sebagaimana diwajib atas sejumlah UU yang disebutkan diatas,” tandasnya.
“Terakhir kami menyayangkan dukungan Gubernur Aceh yang mendukung tindakan kekerasan di atas terhadap anak-anak Punk di Banda Aceh,” kecam Koordinator KontraS Haris Azhar dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu (22/12/2011).
Tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi adalah; Pembubaran acara Musik Amal untuk Anak-anak Yatim “PUNK FOR ACEH” yang dilakukan oleh komunitas Punk Banda Aceh dan dihadiri oleh anak-anak punk dari luar Aceh seperti, Bali, Bandung, dan juga Medan Sumatra Utara.
“Kami mencatat bahwa pada saat pembubaran (10 Desember 2011) kegiatan tersebut (pada malam hari) anak-anak Punk tersebut sempat dipukuli dan dipaksa naik ke Rio Polisi. Beberapa dari mereka yang sempat melarikan diri, kemudian ditangkap hingga hari Minggu dan dibawa ke Polres Banda Aceh,” terang Haris.
Tercatat 65 anak Punk ditangkap secara sewenang-wenang. Enam di antaranya adalah perempuan dan dua di antaranya masuk kategori anak-anak. Penangkapan tidak disertai dengan surat resmi penangkapan oleh kepolisian. Padahal anak-anak Punk yang malam itu berkumpul di tengah kota tidak didapati satu pun melakukan tindakan pelanggaran hukum yang perlu dicegah atau ditangkap. “Penangkapan dan pembubaran tersebut juga dihadiri oleh Wali Kota Banda Aceh dan Wakilnya,” ungkapnya.
Haris menambahkan, slasan penangkapan sebagaimana diutarakan adalah penyalahgunaan izin acara. Padahal penyalahgunaan izin masuk dalam kategori kesalahan admistratif yang tidak merugikan nyawa dan harta benda orang lain.
Pascapenangkapan, para anak muda tersebut tidak diperlakukan sebagai tahanan yang bisa mendapatkan hak-haknya sebagaimana yang dijamin dalam KUHAP. Seperti, bantuan hukum (pengacara) dan akses menghubungi keluarganya. “Melainkan anak-anak ini dibawa ke Sekolah Polisi Negara (SPN) Banda Aceh. Anak-anak tersebut (yang laki-laki) digunduli, dipaksa merendaman diri disungai dekat SPN dan menjalani pendidikan kedisiplinan selama 10 hari kerja sejak Sabtu 10 Desember 2011,” sesalnya.
Terhadap mereka, sambung Haris, juga tidak ada akses komunikasi. Diduga orangtua tidak tahu nasib mereka karena diisolir dari dunia luar. Ketiadaan standar pembinaan yang jelas di SPN terhadap anak-anak, kecuali baris-berbaris dari pagi hingga malam dikhawatirkan membuat tujuan pembinaan tak tercapai.
Pihak SPN sendiri juga menutup diri dari kehadiran advokat publik dan beberapa LSM HAM untuk menjumpai mereka sehingga ada indikasi kuat perlakuan pembinaan komunitas punk dilakukan oleh polisi dengan tindakan kekerasan. Yaitu kekerasan psikologis seperti direndam di kolam suci dan digunduli bagi laki-laki dan dipotong pendek bagi perempuan dengan maksud pembunuhan identitas Punk. “Kepada anak punk juga dialamatkan tuduhan sebagai ancaman terhadap budaya Aceh dan syariah Islam di Aceh,” bebernya.
Terakhir, kata Haris, Polisi dan Wali Kota Banda Aceh telah menyalah gunakan peruntukan Sekolah Polisi Negara (SPN) Banda Aceh. SPN adalah lembaga pendidikan ilmu kepolisian untuk polisi. SPN bukan lembaga pendidikan keagamaan, bukan lembaga pendidikan anak dan pemuda/i, bukan lembaga tahanan.
Karena itu KontraS menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh Satpol PP dan pihak kepolisian khususnya Polres Banda Aceh dan juga wakli kota banda Aceh adalah serangkaian tindakan melanggar UUD 1945 dan aturan hukum HAM termasuk aturan-aturan terkait dengan hak anak dan perempuan.
Pertama, pelanggaran atas kebebasan berkumpul dan berekspresi-dalam hal ini bermusik. Polisi Banda Aceh, Satpol PP dan Wali Kota Banda Aceh telah melanggar Pasal 23 dan 24 UU Nomor 39 tahun 19999 tentang Hak Asasi Manusia junto Pasal 19 ayat 2 Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang sudah dijadikan hukum nasional lewat UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi hak sipil dan politik junto Pasal 13 dan 15 Konvensi internasional tentang Hak Anak yang sudah diratifikasi menjadi hukum nasional Indonesia melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak junto Pasal 15 huruf d UU nomor 23 tahun 2002 tentang Pelindungan Anak.
Pembatasan hak berekspresi bisa dilakukan dalam batasan; menjaga kehormatan dan hak orang lain serta atas dasar keamanan nasional, ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum; pembatasan ini harus diatur dalam UU yang berlaku.
Sayangnya hingga saat ini tidak ada aturan setingkat UU yang berlaku yang bisa membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul dari anak-anak punk. Kalaupun ada pembatasan tersebut harus bisa dibuktikan terlebih dahulu lewat pengadilan artinya terbukti secara sah. Untuk kasus Aceh dan Punk, tidak bisa pembatasan anak-anak Punk didasari oleh aturan lokal atau atas dasar keresahan yang dikeluarkan secara lisan oleh wali kota Banda Aceh.
Khusus untuk anak-anak pembatasan hak berekspresi menurut Pasal 55 UU 39 hanya boleh dilakukan dibawah otoritas orang tuanya selama pembatasan tersebut tidak melanggar hak-hak yang lainnya dari anak tersebut. Pembatasan tidak dapat dilakukan oleh negara terlebih hanya oleh Wali Kota dan Polisi.
Kedua, ketiadaan akses komunikasi bagi keluarga paska penangkapan terhadap anak-anak Punk. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 9 Konvensi Internasional tentang hak sipil dan politik (UU Nomor 12 Tahun 2005) dimana terdapat kewajiban untuk memberitahukan adanya penangkapan kepada keluarga.
Ketiga, tindakan penyiksaan dan tindakan yang merendahkan martabat manusia berupa pemukulan saat penangkapan/pengamanan dan penggundulan anak-anak Punk serta meminta mereka untuk merendamkan diri di air sungai.
Hal ini, menurut Haris, merupakan pelanggaran terhadap Pasal 33 UU 39 Tahun 1999 tentang HAM junto 7 konvensi Internasional tentang hak sipil dan politik yang 16 Konvensi Internasional tentang Anti Penyiksaan, perlakuan yang menyakitkan dan tindakan yang tidak manusiawi, sebagaimana sudah dijadikan hukum nasional melalui UU Nomor 7 Tahun 1998.
Khusus terhadap anak-anak hal ini juga melanggar Pasal 37 huruf a dari konvensi internasional tentang hak anak. Hak untuk tidak disiksa merupakan hak yang tidak boleh dilanggar dalam keadaan apapun. Hak untuk tidak disiksa merupakan hak yang fundamental. Oleh karenanya pelanggaran terhadap hak ini merupakan pelanggaran HAM serius.
Keempat, adalah pelanggaran HAM berupa penangkapan secara sewenag-wenang dan penahanan yang tidak layak (dengan ditempatkan di SPN) merupakan pelanggaran pasal 34 UU 39 Tahun 1999 tentang HAM junto Pasal 9 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dimana setiap orang berhak atas perlindungan dan rasa aman dari penangkapan atas alasan-alasan yang tidak diatur oleh hukum yang berlaku serta dari penempatan dirumah tahanan yang tidak semestinya/tidak layak.
Kelima, pelarangan akses bantuan hukum terhadap kepada pengacara dari LBH Aceh, KontraS Aceh dan Koalisi NGO HAM Aceh. Hal ini menambah kategori pelanggaran HAM terhadap anak-anak punk untuk mendapatkan hak bantuan hukum. Hal ini merupakan pelanggaran Pasal 18 ayat 4 dari UU 39 Tahun 1999 tentang HAM junto khusus untuk hak anak jaminan bantuan hukum terdapat di Pasal 66 ayat 6 dari UU yang sama junto 37 huruf d konvensi internasional atas hak anak.
Terakhir, hak yang dilanggar adalah tindakan diskriminatif berupa tuduhan terhadap komunitas Punk dengan memposisikan bahwa anak Punk anti syariah dan anti budaya Aceh merupakan pelanggaran Pasal 2 huruf e dari Konvensi Internasional penghapusan segala bentuk Diskriminasi Rasial yang sudah disahkan menjadi hukum nasional melalui UU Nomor 29 tahun 1999 tentang Pengesahan konvensi tersebut junto Pasal 2 ayat 2 dari konvenan internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya.
Jika pun mereka terindikasi melakukan pelanggaran hukum dalam hal ketiadaan izin/penyalahgunaan izin diadakannya kegiatan musik amal ataupun kepemilikan senjata tajam dan obat terlarang lainnya, maka hal itu tetap dilakukan tanpa mengurangi penegakan atas nilai-nilai dan prinsip-prinsip HAM.
“Untuk itu kami mendesak Komnas HAM, Komnas Perlindungan Anak Indonesia, Komnas Perlindungan Perempuan dan Ombudsmen Indonesia harus segera melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran HAM yang berlapis-lapis sebagaimana digambarkan diatas terhadap komunitas anak Punk Banda Aceh. Lebih lanjut kami meminta agar dilakukan tindakan pemulihan terhadap anak-anak punk di Banda Aceh, yang juga menjadi kewajiban pemerintah sebagaimana diwajib atas sejumlah UU yang disebutkan diatas,” tandasnya.