This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 24 Desember 2011

Kontras Kecam Penangkapan Anak Punk di Aceh

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam serangkaian tindakan pelanggaran HAM dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Polisi, Satpol PP dan Wali kota Banda Aceh beserta wakilnya, terhadap Komunitas anak Punk pada 10 Desember 2011 lalu.

“Terakhir kami menyayangkan dukungan Gubernur Aceh yang mendukung tindakan kekerasan di atas terhadap anak-anak Punk di Banda Aceh,” kecam Koordinator KontraS Haris Azhar dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu (22/12/2011).

Tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi adalah; Pembubaran acara Musik Amal untuk Anak-anak Yatim “PUNK FOR ACEH” yang dilakukan oleh komunitas Punk Banda Aceh dan dihadiri oleh anak-anak punk dari luar Aceh seperti, Bali, Bandung, dan juga Medan Sumatra Utara.

“Kami mencatat bahwa pada saat pembubaran (10 Desember 2011) kegiatan tersebut (pada malam hari) anak-anak Punk tersebut sempat dipukuli dan dipaksa naik ke Rio Polisi. Beberapa dari mereka yang sempat melarikan diri, kemudian ditangkap hingga hari Minggu dan dibawa ke Polres Banda Aceh,” terang Haris.

Tercatat 65 anak Punk ditangkap secara sewenang-wenang. Enam di antaranya adalah perempuan dan dua di antaranya masuk kategori anak-anak. Penangkapan tidak disertai dengan surat resmi penangkapan oleh kepolisian. Padahal anak-anak Punk yang malam itu berkumpul di tengah kota tidak didapati satu pun melakukan tindakan pelanggaran hukum yang perlu dicegah atau ditangkap. “Penangkapan dan pembubaran tersebut juga dihadiri oleh Wali Kota Banda Aceh dan Wakilnya,” ungkapnya.

Haris menambahkan, slasan penangkapan sebagaimana diutarakan adalah penyalahgunaan izin acara. Padahal penyalahgunaan izin masuk dalam kategori kesalahan admistratif yang tidak merugikan nyawa dan harta benda orang lain.

Pascapenangkapan, para anak muda tersebut tidak diperlakukan sebagai tahanan yang bisa mendapatkan hak-haknya sebagaimana yang dijamin dalam KUHAP. Seperti, bantuan hukum (pengacara) dan akses menghubungi keluarganya. “Melainkan anak-anak ini dibawa ke Sekolah Polisi Negara (SPN) Banda Aceh. Anak-anak tersebut (yang laki-laki) digunduli, dipaksa merendaman diri disungai dekat SPN dan menjalani pendidikan kedisiplinan selama 10 hari kerja sejak Sabtu 10 Desember 2011,” sesalnya.

Terhadap mereka, sambung Haris, juga tidak ada akses komunikasi. Diduga orangtua tidak tahu nasib mereka karena diisolir dari dunia luar. Ketiadaan standar pembinaan yang jelas di SPN terhadap anak-anak, kecuali baris-berbaris dari pagi hingga malam dikhawatirkan membuat tujuan pembinaan tak tercapai.

Pihak SPN sendiri juga menutup diri dari kehadiran advokat publik dan beberapa LSM HAM untuk menjumpai mereka sehingga ada indikasi kuat perlakuan pembinaan komunitas punk dilakukan oleh polisi dengan tindakan kekerasan. Yaitu kekerasan psikologis seperti direndam di kolam suci dan digunduli bagi laki-laki dan dipotong pendek bagi perempuan dengan maksud pembunuhan identitas Punk. “Kepada anak punk juga dialamatkan tuduhan sebagai ancaman terhadap budaya Aceh dan syariah Islam di Aceh,” bebernya.

Terakhir, kata Haris, Polisi dan Wali Kota Banda Aceh telah menyalah gunakan peruntukan Sekolah Polisi Negara (SPN) Banda Aceh. SPN adalah lembaga pendidikan ilmu kepolisian untuk polisi. SPN bukan lembaga pendidikan keagamaan, bukan lembaga pendidikan anak dan pemuda/i, bukan lembaga tahanan.

Karena itu KontraS menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh Satpol PP dan pihak kepolisian khususnya Polres Banda Aceh dan juga wakli kota banda Aceh adalah serangkaian tindakan melanggar UUD 1945 dan aturan hukum HAM termasuk aturan-aturan terkait dengan hak anak dan perempuan.

Pertama, pelanggaran atas kebebasan berkumpul dan berekspresi-dalam hal ini bermusik. Polisi Banda Aceh, Satpol PP dan Wali Kota Banda Aceh telah melanggar Pasal 23 dan 24 UU Nomor 39 tahun 19999 tentang Hak Asasi Manusia junto Pasal 19 ayat 2 Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang sudah dijadikan hukum nasional lewat UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi hak sipil dan politik junto Pasal 13 dan 15 Konvensi internasional tentang Hak Anak yang sudah diratifikasi menjadi hukum nasional Indonesia melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak junto Pasal 15 huruf d UU nomor 23 tahun 2002 tentang Pelindungan Anak.

Pembatasan hak berekspresi bisa dilakukan dalam batasan; menjaga kehormatan dan hak orang lain serta atas dasar keamanan nasional, ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum; pembatasan ini harus diatur dalam UU yang berlaku.

Sayangnya hingga saat ini tidak ada aturan setingkat UU yang berlaku yang bisa membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul dari anak-anak punk. Kalaupun ada pembatasan tersebut harus bisa dibuktikan terlebih dahulu lewat pengadilan artinya terbukti secara sah. Untuk kasus Aceh dan Punk, tidak bisa pembatasan anak-anak Punk didasari oleh aturan lokal atau atas dasar keresahan yang dikeluarkan secara lisan oleh wali kota Banda Aceh.

Khusus untuk anak-anak pembatasan hak berekspresi menurut Pasal 55 UU 39 hanya boleh dilakukan dibawah otoritas orang tuanya selama pembatasan tersebut tidak melanggar hak-hak yang lainnya dari anak tersebut. Pembatasan tidak dapat dilakukan oleh negara terlebih hanya oleh Wali Kota dan Polisi.

Kedua, ketiadaan akses komunikasi bagi keluarga paska penangkapan terhadap anak-anak Punk. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 9 Konvensi Internasional tentang hak sipil dan politik (UU Nomor 12 Tahun 2005) dimana terdapat kewajiban untuk memberitahukan adanya penangkapan kepada keluarga.

Ketiga, tindakan penyiksaan dan tindakan yang merendahkan martabat manusia berupa pemukulan saat penangkapan/pengamanan dan penggundulan anak-anak Punk serta meminta mereka untuk merendamkan diri di air sungai.

Hal ini, menurut Haris, merupakan pelanggaran terhadap Pasal 33 UU 39 Tahun 1999 tentang HAM junto 7 konvensi Internasional tentang hak sipil dan politik yang 16 Konvensi Internasional tentang Anti Penyiksaan, perlakuan yang menyakitkan dan tindakan yang tidak manusiawi, sebagaimana sudah dijadikan hukum nasional melalui UU Nomor 7 Tahun 1998.

Khusus terhadap anak-anak hal ini juga melanggar Pasal 37 huruf a dari konvensi internasional tentang hak anak. Hak untuk tidak disiksa merupakan hak yang tidak boleh dilanggar dalam keadaan apapun. Hak untuk tidak disiksa merupakan hak yang fundamental. Oleh karenanya pelanggaran terhadap hak ini merupakan pelanggaran HAM serius.

Keempat, adalah pelanggaran HAM berupa penangkapan secara sewenag-wenang dan penahanan yang tidak layak (dengan ditempatkan di SPN) merupakan pelanggaran pasal 34 UU 39 Tahun 1999 tentang HAM junto Pasal 9 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dimana setiap orang berhak atas perlindungan dan rasa aman dari penangkapan atas alasan-alasan yang tidak diatur oleh hukum yang berlaku serta dari penempatan dirumah tahanan yang tidak semestinya/tidak layak.

Kelima, pelarangan akses bantuan hukum terhadap kepada pengacara dari LBH Aceh, KontraS Aceh dan Koalisi NGO HAM Aceh. Hal ini menambah kategori pelanggaran HAM terhadap anak-anak punk untuk mendapatkan hak bantuan hukum. Hal ini merupakan pelanggaran Pasal 18 ayat 4 dari UU 39 Tahun 1999 tentang HAM junto khusus untuk hak anak jaminan bantuan hukum terdapat di Pasal 66 ayat 6 dari UU yang sama junto 37 huruf d konvensi internasional atas hak anak.

Terakhir, hak yang dilanggar adalah tindakan diskriminatif berupa tuduhan terhadap komunitas Punk dengan memposisikan bahwa anak Punk anti syariah dan anti budaya Aceh merupakan pelanggaran Pasal 2 huruf e dari Konvensi Internasional penghapusan segala bentuk Diskriminasi Rasial yang sudah disahkan menjadi hukum nasional melalui UU Nomor 29 tahun 1999 tentang Pengesahan konvensi tersebut junto Pasal 2 ayat 2 dari konvenan internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya.

Jika pun mereka terindikasi melakukan pelanggaran hukum dalam hal ketiadaan izin/penyalahgunaan izin diadakannya kegiatan musik amal ataupun kepemilikan senjata tajam dan obat terlarang lainnya, maka hal itu tetap dilakukan tanpa mengurangi penegakan atas nilai-nilai dan prinsip-prinsip HAM.

“Untuk itu kami mendesak Komnas HAM, Komnas Perlindungan Anak Indonesia, Komnas Perlindungan Perempuan dan Ombudsmen Indonesia harus segera melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran HAM yang berlapis-lapis sebagaimana digambarkan diatas terhadap komunitas anak Punk Banda Aceh. Lebih lanjut kami meminta agar dilakukan tindakan pemulihan terhadap anak-anak punk di Banda Aceh, yang juga menjadi kewajiban pemerintah sebagaimana diwajib atas sejumlah UU yang disebutkan diatas,” tandasnya.

Diskriminasi: Salah Satu Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Serius dalam Kehidupan Baru di Era Milenium Ketiga Masehi

Diskriminasi – yang berasal dari kata Latin dis (=memilah atau memisah) + crimen (=diputusi berdasarkan suatu pertimbangan baik-buruk) – adalah sebuah istilah yang secara harafiah berarti ‘memilah untuk menegaskan perbedaan atas dasar suatu tolok nilai’. Praktik diskriminasi – yang pada hakikatnya merupakan upaya membangun kehidupan yang eksklusif dengan mengucilkan mereka yang dipandang tak segolongan — adalah suatu fenomena kehidupan yang sebenarnya amat lumrah kita temui dalam komunitas-komunitas lokal tua. Praktik diskriminasi seperti ini mempunyai fungsi memilah dan memisah kelompok-kelompok ke dalam lingkar-lingkar yurisdiksi, yang pada akhirnya pada dataran ekologik akan menyebabkan terjadinya apa yang disebut teritorial spacing (demi efisiensi pendayagunaan sumber-sumber agraria setempat!), dan pada tataran sosial akan menyebabkan terjadinya social spacing yang terwujud dalam bentuk pembedaan dan pemisahan antara ‘kami yang orang dalam yang berkewenangan dan berprivelege di sini’ dan ‘kalian yang orang luar yang tak berkewenangan dan berprivelege di sini’. Spacings seperti itu menghasilkan suatu penjarangan yang mampu menjaga jarak antara kelompok-kelompok, masing-masing dengan kawasan teritorial-ekologik dan yurisdiksi moral-kulturalnya sendiri, yang dengan demikian juga mampu mengurangi kemungkinan terjadinya perjumpaan-perjumpaan yang berdampak pada benturan-benturan kepentingan antar-kelompok.

Diskriminasi dalam maknanya yang netral dan fungsional untuk kepentingan survival manusia sebagaimana dipaparkan di muka ini ternyata berkembang menjadi sesuatu yang disfungsional, dan menyebabkan dahi orang mengerenyut di mana-mana, ialah tatkala terjadi perubahan kehidupan manusia dari yang semula terorganisasi sebagai old local communities ke yang kini terorganisasi sebagai new nation state. Dalam kehidupan yang lebih terintegrasi pada tataran nasional dengan konfigurasinya yang industrial, tatkala teritorial spacing yang memilah dan memisahkan komunitas-komunitas lokal menjadi tidak bermakna lagi, perjumpaan dan benturan kepentingan antara berbagai puak dalam masyarakat menjadi tak terhindarkan. Social spacing yang mencoba bertahan di tengah kehidupan yang telah berubah tanpa mengenal lagi perbatasan teritorial dan garis pemisahan yurisdiksi antar puak seperti itu akan serta merta menjadi penghalang dipenuhinya asas kesetaraan dalam percaturan nasional. Eksklusi-eksklusi antar-puak sosial, namun yang berlangsung di atas dataran teritori nasional yang sama tersebut, nyata kalau akan terstigma secara serta merta sebagai praktik diskriminasi yang buruk. Syahdan, karena akan mengancamkan fragmentasi dalam persatuan bangsa, ekslusifisme seperti itu secara serta merta pula akan segera saja ditolak dalam kehidupan nasional oleh mereka yang tetap menganggap pentingnya solidaritas dalam kesatuan kebangsaan, dengan kontrol-kontrol yang harus dikukuhi teguh-teguh oleh otoritas sentral.

Diskriminasi dalam maknanya yang netral dan fungsional untuk kepentingan survival manusia ini berkembang menjadi kian disfungsional lagi tatkala terjadi perubahan yang kian lanjut lagi. Ialah perubahan yang berlangsung lebih lanjut dari new nation states ke suatu kehidupan mutakhir yang terorganisasi sebagai regional atau global market yang jelas-jelas kalau sudah berada di tataran ‘beyond nationalities’. Di sini teritorial spacing yang memungkinkan bertahannya kedaulatan dan yurisdiksi teritorial juga menjadi kian kurang bermakna lagi, untuk menghasilkan apa yang disebut borderless world. Tak pelak lagi, di tengah kehidupan mutakhir pada tataran global — yang membebaskan orang dari keterikatannya pada lingkungan komunitas serta lokalitasnya sendiri yang eksklusif – ini pemilahan dan pembedaan serta pembeda-bedaan antar-manusia (yang kini dalam gambaran idealnya telah harus hidup bersama dalam satu bumi yang telah menyatu) akan serta merta tertuding sebagai praktik diskriminasi yang berpotensi akan memberikan kedudukan berprivelege kepada suatu kelompok mapan untuk menindas dan mengeksploitasi mereka yang berkedudukan rawan.

Sebagaimana dalam perkembangan kehidupan nasional yang mencoba mengatasi masalah diskriminasi antar-warga dalam kehidupan yang kini telah diidealkan sebagai kehidupan yang berkesetaraan antara sesiapapun, perkembangan kehidupan pada tataran global — yang didalihkan untuk kepentingan manusia sesiapapun seumat – hendak pula mengatasi masalah diskriminasi dengan alasan yang sama. Hidup dalam satu bumi yang tak lagi berperbatasan, tatkala siapapun yang namanya manusia dan bersosok manusia ini harus hidup bersama dalam suatu kebersamaan, diskriminasi akan dipandang sebagai suatu pemecah-belah persatuan dan kesatuan manusia. Kehidupan di satu bumi yang telah terwujud sebagai fakta one world, different but never divided ini akan terfragmentasi kembali ke dalam sekian ribu puak, yang tidak akan saja saling menolak akan tetapi – karena sudah tak lagi mengalami teritorial spacing — akan serta merta sarat dipenuhi konflik-konflik. Dalam kehidupan yang telah berubah mengglobal seperti ini, ketika kecenderunganpun kian besar akan berkembangnya ideologi the sovereignty of the individuals, ulah saling menolak dan berkonflik itu tak hanya akan berdampak pada kehidupan yang amat tidak menguntungkan kehidupan antar-kelompok (besar ataupun kecil) akan tetapi lebih-lebih lagi juga amat tidak menyejahterakan pergaualan antar-individu dalam bidang kehidupan apapun.

Maka, kepentingan bersama manusia seumat dan sebumi telah kian kuat mendorong upaya bersama membangun kehidupan bersama yang tak lagi tersekat-sekat oleh berbagai bentuk diskriminasi. Dunia harus dibebaskan dari sekat-sekat seperti itu, khususnya sekat-sekat segregatif yang tidak didasarkan pada alasan-alasan yang rasional dan fungsional, melainkan atas dasar alasan-alasan yang berangkat dari purbasangka. Inilah berbagai bentuk purbasangka yang umumnya didasari fakta perbedaan-perbedaan kodrati yang boleh dibilang tak mungkin diubah secara lahiriah, seperti misalnya perbedaan warna kulit (yang melahirkan paham rasisme) atau perbedaan jenis kelamin (yang melahirkan sexism). Padahal purbasangka-purbasangka seperti ini pada gilirannya akan melahirkan prasangka-prasangka buruk, bahwa secara permanen warna atau jenis yang satu itu tanpa ayal adalah berkeadaan lebih superior (atau sebaliknya lebih inferior) dari warna atau jenis yang lain. Purbasangka seperti inilah yang di satu pihak akan mempanggahkan secara bandel ideologi yang meyakini kehadiran manusia sebagai mahluk yang secara kodrati tidak pernah berkesetaraan (bahwa manusia-manusia itu sesungguhnya berhakikat sebagai Homo hierarchicus), dan di lain pihak akan menghalangi ide tentang kelahiran manusia-manusia baru yang akan terbilang benar-benar sebagai Homo equalis.

Sesungguhnya tiadanya pengakuan akan adanya kedudukan yang setara antar-manusia dalam kehidupan itu merupakan sebuah bentuk penganiayaan dan penindasan, yang acapkali tidak hanya banyak tertampakkan dalam berbagai bentuk ekspresi yang simbolik, melainkan tak kurang-kurangnya juga acap tersimak dalam berbagai bentuk perlakuan fisikal yang sewenang-wenang. Purbasangka-purbasangka yang mendasari berbagai praktik diskriminasi dalam kehidupan manusia – dengan berbagai konsekuensinya — seperti itu memang masih sering dijumpai sebagai tradisi klasik yang berakar dalam-dalam dalam moral-sosial yang dipertahankan dalam kehidupan komunitas-komunitas lokal. Tetapi pula, patutlah disayangkan, bahwa purbasangka-purbasangka seperti itu justru – disadari atau tidak – masih sering pula dianut dalam berbagai kebijakan nasional yang masih saja bernuansa chauvenistik dan konservatif.

Maka, melawan tindak dan perilaku diskriminatif — yang pada asasnya bersifat disfungsional bagi kehidupan baru pada tataran global ini — patutlah disambut adanya suatu upaya bersama yang progresif untuk mengakhiri berbagai bentuk diskriminasi tersebut. Upaya bersama ini tidaklah semestinya kalau hanya terlaksana dalam bentuk niat bersama saja — sebagaimana rumusan normatifnya disepakati di World Congress yang berlangsung di Durban, Afrika Selatan, pada tanggal 31 Agustus 2001 hingga 7 September 2001 — akan tetapi juga mesti berlanjut terus di hari-hari mendatang, dengan segala implementasinya yang harus dilakukan dengan penuh gairah dan semangat di manapun oleh sesiapapun yang mencitakan lahirnya manusia baru yang berhakikat sebagai homo equalis. Komitmen seperti ini tidak hanya mesti dipercayakan kepada mereka yang terbilang generasi tua saja, yang umumnya telah terlanjur lama berperan dalam institusi-institusi yang formal, akan tetapi juga terlebih-lebih lagi secara khusus kepada mereka yang terbilang generasi muda. Ialah generasi yang akan memiliki kehidupan mereka sendiri sepanjang dasawarsa-dasawarsa mendatang, dan bertanggungjawab akan pengelolaannya dalam taraf kualitatif yang tentu jauh lebih baik dari yang sudah-sudah.

Soetandyo Wignjosoebroto, penulis adalah anggota sub Komisi Pendidikan dan Penyuluhan HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Sumber : sekitarkita.com

Asal Usul Konflik Tanah Mesuji

Ibu korban penembakan aparat desa Mesuji, Rundam, mengisahkan asal-muasal konflik tanahnya. Dalam kisahnya, sertifkat tanah warga sempat dikumpulkan ke perusahaan pada 1993.

Seluruh warga di Desa Sritanjung, Nipah Kuning, dan Kagungan Dalam diminta mengumpulkan seritifikat dan surat bukti kepemilikan lahan ke perusahaan. Para petani itu dijanjikan akan menjadi petani plasma. “Belakangan perusahaan mengklaim tanah itu milik mereka. Kami tidak bisa lagi bercocok tanam di tanah kami,” kata Rundam di Mesuji, 17 Desemebr 2011.

Ratusan warga ketiga desa itu sudah turun-temurun mendiami kawasan itu. Mereka hidup mengandalkan buah-buahan seperti durian, duku, dan tanaman tahunan lainnya.

Setelah lahan beralih kepemilikan, sebagian besar penduduk desa itu dijerat kemiskinan. Mereka tak lagi punya sumber penghasilan tetap.

Perempuan berusia 51 tahun yang tak bisa baca tulis itu mengaku sedih dengan kondisi Muslim, anaknya, yang menjadi korban penembakan polisi. Muslim lahir dalam suasana konflik pertanahan yang tak juga berakhir. Putra bungsunya itu hidup memendam dendam terhadap orang perusahaan yang merampas tanah mereka.

“Bertahun-tahun kami hidup tertekan. Penuh ketakutan,” kata perempuan tua yang setia menunggui anaknya di rumah sakit sejak 10 November 2010 lalu itu.

Sumber : tempo.co